Malu …

DM Mei 2011 telah usai. Alhamdulillah pesertanya lumayan banyak dan tidak hanya diikuti oleh peserta yang sudah ngaji saja. Senang sekali hati ini melihat mereka para muslimah yang datang untuk mencari ilmu. Sungguh saya kagum dengan mereka, dari yang masih single bahkan sampai ummahat (ibu-ibu) pun bersemangat menuntut ilmu, maa syaa Allah… Malu rasanya jika diri ini kalah semangat dengan mereka dalam menuntut ilmu.

Yang paling berkesan dalam hati ini, ketika dua hari terakhir DM, saya tertegun melihat seorang gadis cilik kelas 1 SD duduk manis di samping ibu dan adik laki-lakinya, diam menyimak sang ustadzah menyampaikan materi. Sesekali gadis kecil itu mencorat-coret buku kecil yang dipegangnya. Dia tidak sedang menggambar sesuatu di bukunya, tidak pula sekedar iseng mencorat-coret buku. Dia mencatat materi kajian!!

Ketika DM hari terakhir, ibu tersebut dan dua anaknya yang masih kecil-kecil itu datang terlambat. Saya sambut beliau –yang sudah saya kenal dengan baik sejak tahun lalu; kisah tentang ibu tersebut dapat dibaca di sini– dan menanyakan kenapa beliau datang terlambat. Beliau menceritakan bahwa beliau terlambat karena menunggu gadis ciliknya pulang sekolah dulu. Kalau ditinggal takut dia ngambek, karena si gadis cilik sudah bilang ke ibunya kalau dia sangat ingin ikut kajian bersama ibunya.

Setelah acara selesai, ibu itu beserta dua anak yang dibawanya ke DM menghampiri saya yang waktu itu sedang membereskan kabel microphone dan speaker. Kami mengobrol sebentar. Beliau bilang bahwa sebetulnya beliau ingin ikut bedah buku “Saudaraku… Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” yang diadakan oleh Perpustakaan ceRIa keesokan harinya. Namun, qadarullah beliau tidak bisa karena ada acara lain. Beliau juga menceritakan bahwa anak perempuannya –si gadis cilik itu- ingin sekali ikut bedah buku (padahal acara bedah bukunya bukan untuk anak-anak lho…). Akhirnya saya menawarkan ke beliau untuk mengantarkan gadis cilik itu ke wisma agar dapat ikut bedah buku, setelah itu beliau bisa pergi mengikuti acara lain tersebut. Saya dan ibu tersebut bilang ke gadis cilik itu, merayunya,  kira-kira begini, “Adek besok mau ikut bedah buku? Besok diantar ke wisma sama ibu terus ditinggal ibu pergi, mau ya? Nanti ditemani sama mbak-mbak di sana. Pulangnya dijemput ibu lagi. Kalau mau, nanti izin sama bapak dulu.” Di luar dugaan, gadis kecil itu mengangguk mau!! Waah, senangnya saya, berhasil merayunya ^^.

Keesokan harinya, adik manis itu benar-benar datang! Ketika acara bedah buku dimulai, saya menemaninya duduk di sebelah kirinya di baris paling depan, dan mulai mencatat apa yang disampaikan oleh pemateri. Gadis cilik itu memandangi saya yang sedang mencatat, lebih tepatnya mungkin memandangi catatan saya. Saya tanyakan ke dia apakah dia membawa buku catatan. Dikeluarkannya buku catatan kecilnya dan sebatang pensil dari dalam tasnya. Dia pun mulai ikut mencatat, mencatat apa yang saya catat alias diam-diam menyontek catatan saya. Lucunya, dia mencatat sembari menutupinya dengan tas. Persis seperti orang yang sedang menyontek saat ujian. Mungkin malu ketahuan saya kalau dia nyontek catatan saya ^_^ Dasar anak-anak.. Saya pun akting pura-pura tidak tahu kalau catatan saya dicontek =)

Setelah acara berakhir, saya tawarkan ke dia apakah mau pinjam buku perpus. Gadis cilik itu pun mengangguk dan memilih dua buah buku cerita anak-anak yang akan dipinjamnya. Kemudian saya antarkan dia ke pengurus perpus untuk meminjam buku tersebut. Saat itulah ibunya datang menjemputnya …

Maa syaa Allah..

Ketika anak-anak seusianya lebih suka bermain dan nonton TV, dia lebih memilih ikut kajian bersama ibunya.

Ketika anak-anak seusianya bahkan mungkin ada yang lebih besar -yang dibawa ummi[1]nya (baca: ibunya) ke kajian- main-main, berseliweran ke mana-mana, rewel, dan gaduh di dalam masjid /tempat kajian (yang membuat sebagian akhowat –termasuk saya- jadi kurang konsentrasi saat kajian), dia lebih suka duduk manis di sebelah ibunya, menyimak, dan mencatat apa yang disampaikan oleh ustadz/ah tanpa bosan maupun rewel.

Ketika ibu-ibu yang lain selepas dauroh banyak yang anaknya hilang[2] entah kemana karena mungkin sang ibu serius menyimak kajian sampai lalai menjaga anaknya, ibu itu tidak perlu mencari-cari anak-anaknya.

Ibu tersebut pernah bercerita kepada saya waktu pertama kalinya beliau sekeluarga ikut kajian Ahad pagi, anak-anaknya (yang paling besar baru kelas 5 SD) sangat antusias dan selalu ingin ikut kajian tersebut. Bahkan anak-anaknya sudah menyiapkan pertanyaan pada malam harinya untuk ditanyakan ke ustadz. Saat sesi tanya jawab, sang anak menunggu-nunggu dengan gelisah kapan kertas pertanyaannya dibacakan oleh ustadz. Ketika dibacakan dan dijawab oleh ustadz, betapa girangnya dia..

Teman saya yang kebetulan sedang bimbingan skripsi dengan ibu tersebut pernah bercerita. Suatu hari dia datang ke rumah beliau untuk bimbingan. Saat itu, dijumpainya anak-anak beliau sedang duduk sambil memegang Al-Qur`an masing-masing dan mulut berkomat-kamit, entah sekedar membaca Al-Qur`an atau menghafal. Hingga teman saya selesai bimbingan, anak-anak itu masih tetap dalam posisi semula dengan Al-Qur`an masih di tangan. Maa syaa Allah…

Meskipun belum menjadi seorang ibu, saya malu sama ibu itu dan anak-anak beliau. Sang ibu yang juga dosen dan dokter gigi, yang tentunya sibuk dengan pekerjaannya dan tidak bisa full time di rumah, baju dan kerudungnya masih biasa-biasa saja, baru mendapatkan hidayah Islam setelah usia dewasa, rumahnya lumayan jauh dari tempat kajian, bisa ikut kajian kalau pas libur dan lowong saja, anaknya lima masih kecil-kecil, beliau bisa mendidik anak-anaknya dengan baik, mengajari anak-anaknya adab di majelis ilmu, dan menumbuhkan semangat menuntut ilmu pada  mereka.

Bagaimana dengan ibu-ibu yang lain, yang hijabnya lebih sempurna, beragama Islam sedari kecil, ngajinya lebih lama, ilmu agamanya lebih banyak, tinggalnya dekat pondok pesantren /tempat kajian sehingga bisa sering-sering ikut kajian, lebih punya banyak waktu untuk mengurus rumah tangga, lebih punya banyak kesempatan untuk mendidik anak-anaknya. Bagaimana seharusnya?? Subhanallah, masak kalah sama beliau?!

=====================

*Maafkan saya kalau ada pihak-pihak yang kurang berkenan dengan tulisan ini (semoga Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa saya). Tidak ada maksud apa-apa, hanya sekedar renungan saja bagi saya dan para muslimah yang belum menikah untuk sedikit memikirkan masa depan, apa yang akan kita lakukan untuk anak-anak kita kelak. Sesibuk apapun kita, mendidik anak tetaplah menjadi prioritas utama, karena ibu adalah pendidik utama bagi buah hatinya.


[1] Sebenarnya kurang tepat, karena “ummi” dalam bahasa Indonesia berarti “ibuku”.

[2] Saat dauroh-dauroh besar, kami sering menemukan beberapa anak hilang yang menangis mencari-cari umminya (ibunya).

5 responses »

  1. Dan semua itu tak lepas dari hidayah yang Allah karuniakan untuk keluarga dan anak-anak beliau. Karena jika Allah telah berkehendak memberikan hidayah kepada hamba-Nya, maka tak ada yang mampu menyesatkannya. Begitupun ketika Allah berkehendak menyesatkan hamba-Nya, maka tak ada siapapun yang mampu memberikan hidayah.
    Bahkan, anak seorang nabipun ada yang tak mau mengikuti seruan bapaknya. Padahal tak bisa dipungkiri, Nabi adalah manusia pilihan Allah yang Allah angkat derajatnya lebih dari manusia lainnya.

    : ), semoga Allah menetapkan kita dan keluarga kita di atas hidayah hingga akhir hayat nanti…

    Reply
  2. Jazaakillahu khoyron…Subhaanalloh,banyak pelajaran yang kuambil dari kisah Ummahat ini.
    ****
    “Bagaimana dengan ibu-ibu yang lain, yang hijabnya lebih sempurna, beragama Islam sedari kecil, ngajinya lebih lama, ilmu agamanya lebih banyak, tinggalnya dekat pondok pesantren /tempat kajian sehingga bisa sering-sering ikut kajian, lebih punya banyak waktu untuk mengurus rumah tangga, lebih punya banyak kesempatan untuk mendidik anak-anaknya. Bagaimana seharusnya?? Subhanallah, masak kalah sama beliau?!”

    *Sangat mengena…jazaakillahu khoyron ya Ukhty nasehatnya…Semoga Alloh senantiasa memberkahi kehidupan Anti,Merahmati keluarga Anti…dan semoga Alloh menganugerahkan kepada Anti pendamping hidup yang sholih serta anak cucu yang menyejukkan hati Anti ..Aamiin

    Reply
  3. masyaAllah,,,, ^^ bagus mba cerita ini ditulis, cerita ini bermanfaat sekali semoga banyak ummahat dan calon ummahat yang baca,,,sehingga bisa menjadi penyemangat,,^^

    Reply
  4. Alya Ilyasa, anak shalihah, pendiam, cerdas, menawan.. masyaalloh. Jazakillahu khayran untuk kisahnya, Dek.

    Reply
  5. “*Maafkan saya kalau ada pihak-pihak yang kurang berkenan dengan tulisan ini ”

    enggak mbak, ini mengingatkan sekali… sebagai ibu kita harus memberikan teladan, sesungguhnya pastilah ibunya menanamkan pada anak-nya, betapa baiknya ketika mencatat dan mendengarkan, dan bisa memberi pertanyaan…mungkin itu yang ditanamkan ya?jazaakillahu khayr atas tulisannya,
    kapan nulis lagi? ^^

    Reply

Leave a comment